Realita Jomblo dan Kondangan

DSC_1105edit

Rasanya berat sekali beranjak dari rumah di Madiun menuju Bandara Internasional Juanda Sidoarjo/Surabaya. Jadwal pesawat Air Asia jurusan Jakarta yang bakal saya tumpangi, esok pukul 05.30 WIB. Dalam kondisi normal, Madiun – Sidoarjo/Surabaya dapat ditempuh dalam waktu 3 sampai 4 jam. Tapi ditengah situasi arus balik lebaran seperti saat ini, waktu tempuh normal tersebut bisa melar menjadi 7 hingga 8 jam. Saya sadar akan itu. Bahkan Ayah dan Bunda saya sudah mewanti-wanti. Namun, perasaan kangen rumah masih mendera saya.

Tepat pukul 23.00 WIB saya berangkat menuju Sidoarjo/Surabaya bersama adik saya dengan menggunakan bis patas. Kebetulan adik saya yang berkantor di Sioarjo/Surabaya besok sudah harus masuk kerja. Lalu lintas dari Madiun masih tampak lengang. Saya sempat optimis sekitar pukul 04.00 WIB, saya sudah berada di Bandara Internasional Juanda Sidoarjo/Surabaya.

Kenyataannya, belum ada sepertiga jarak yang tertempuh, ketika masuk kota Caruban yang notabene masih jadi bagian dari Karesidenan Madiun, kemacetan sudah mengular dengan sangat padatnya di sekujur jalan. Hampir tidak ada spasi lagi antar kendaraan. Anehnya, saya tidak merasa panik sama sekali. Saya justru menikmati kondisi tersebut. Dari balik jendela kursi tempat saya duduk, saya melepaskan pandangan ke arah luar. Diantara kerlap-kerlip lampu kendaraan di tengah kemacetan yang menyilaukan dan tak jarang bisa membuat pusing, tiba-tiba bayangan-bayangan masa kecil berkelebatan di kepala saya. Ah, betapa saya masih ingin di rumah. Tidur dikelonin Ayah dan Bunda. Menikmati wedang jahe buatan Budhe di serambi rumah sambil mencoba mereka-reka makna untaian nada yang dialunkan semilir angin sore. Ngemong ponakan saya yang paling ganteng sedunia : Gilang. Makan Nasi Pecel Madiun yang kelezatannya tak tertandingi. Iya, saya sebenarnya belum ingin beranjak menyongsong rutinitas kembali. Saya masih ingin di rumah dalam pelukan Ayah Bunda sebagaimana ketika saya masih kanak-kanak dulu.

Tak terasa air mata menetes… Mengalir di pipi saya. Emosi saya dihinggapi keharuan yang luar biasa.

Benar saja, sesampainya di Bandara Internasional Juanda Sidoarjo/Surabaya, saya sudah tertinggal pesawat tepat sejak sejam yang lalu. Menyesalkah saya? Tidak. Saya malah sempat merencanakan untuk kembali ke Madiun lagi. Kesempatan, pikir saya. Tapi, adik saya menghalau niatan itu. Dia dengan cekatan menghubungi beberapa temannya yang bergelut di bisnis tour and travel untuk mencarikan tiket penerbangan ke Jakarta. Adik saya memang lebih pandai bersosialisasi daripada saya yang cenderung pendiam. Tidak butuh waktu lama. Tiket Sriwijaya Air dengan jadwal pukul 10.05 telah berada di tangan saya.

Dua hari pertama masuk kerja pasca libur lebaran, suasana kantor masih belum begitu ramai. Nanggung. Kebanyakan rekan-rekan kerja lainnya memilih sekalian ambil cuti dan masuk di hari Senin. Saya yang sedang tenggelam dalam pekerjaan dikejutkan oleh panggilan dari Kepala Bagian Tata Usaha. Aduh! Salah apa saya?

Pucuk dicinta ulam tiba. Pepatah bijak pernah mengatakan bahwa “Tidak akan pernah ada Kesempatan Kedua tapi hidup selalu menyediakan dan memberikan Kesempatan Kedua”. Di ruangannya, Ibu Kepala Bagian Tata Usaha menjelaskan duduk persoalan sebab saya dipanggil secara khusus. Beliau menugaskan saya untuk menghadiri pernikahan teman sekantor yang tempat dan acaranya (sebagaimana lumrahnya adat Jawa) akan dilaksanakan di rumah pihak mempelai wanita : Bojonegoro. Semua biaya akomodasi ditanggung oleh kantor.

“ Kapan saya harus berangkat, Bu? ” Tanya saya memastikan.

“ Sebaiknya besok, Mas Adi. “ Jawab Ibu Kepala Bagian Tata Usaha. Singkat, lugas, padat, dan jelas dibarengi senyum manis yang membuncah dari bibir mungilnya nan samar-samar ranum berhias lipstick warna merah khas Ibu-Ibu Muda. Sexy.

Sebelum saya sempat beranjak kembali ke ruang kerja, Ibu Kepala Bagian Tata Usaha bertanya lagi.

“ Eh, tapi beneran nggak apa-apa Mas Adi ke sananya sendirian? “

“ Ehm, nggak apa-apa, Bu… Lha, wong saya udah jomblo selama dua tahun lebih masih baik-baik aja, kok, Bu … hehehehe. “ Jawab saya setengah cengengesan.

Sekedar info, Bojonegoro adalah sebuah Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Madiun. Dikelilingi oleh hutan jati yang luas. Terkenal dengan Tari Tayub dan Wayang Thengulnya juga Legenda Pendekar Angling Dharma yang konon menurut cerita berasal dari sini.

Yang membuat saya tambah bahagia tak terkira, saya dibebaskan untuk mencari tiket sendiri. Ini artinya saya mempunyai peluang merekayasa rute perjalanan yang memungkinkan saya untuk pulang ke rumah lagi sejenak. Menuntaskan rindu yang masih tersisa. Tanpa membuang banyak waktu yang semakin sempit, saya segera membuka website PT. KAI.

Alhamdulillah, dalam satu hari perburuan, saya masih disisakan satu tiket Kereta Api Eksekutif Sembrani jurusan Gambir – Bojonegoro di hari Jumat sore pukul 17.30 WIB. Harga promo pulak!

Akad dan resepsi pernikahannya sendiri dihelat pada hari Sabtu pagi.

Untuk kembali ke Jakarta saya memperoleh tiket Kereta Api Khusus Lebaran Madiun – Tanah Abang di hari Minggu sore pukul 15.00 WIB. Secara fisik kereta ini termasuk dalam kategori kelas ekonomi tapi beroperasi layaknya kelas eksekutif. Hanya berhenti di stasiun-stasiun besar (tertentu).

Sejak memperoleh tiket pulang pergi tersebut, pikiran saya sudah bukan lagi menghadiri acara pernikahan melainkan rumah.

Sebenarnya saya berharap ada semacam kuliner khas daerah (dalam hal ini Bojonegoro) yang ikut tersaji sebagai hidangan untuk tamu-tamu undangan dalam acara pernikahan teman sekantor saya. Seperti aneka masakan dari Belut, misalnya. Beruntung, diantara jajaran makanan yang telah umum tersedia di acara-acara pernikahan ada terselip menu unik bernama Galantin.

250720152613

Galantin adalah masakan atau makanan pendamping yang mengadopsi gaya kuliner Prancis terbuat dari daging giling dan tepung panir atau tepung roti. Selanjutnya diberi campuran bumbu seperti pala, merica, garam, gula pasir, bawang bombay, dan lain-lain ke dalam paduan daging giling dan tepung panir atau tepung roti  tersebut. Diaduk hingga rata dan menjadi adonan lalu dibungkus seperti lontong menggunakan daun pisang. Setelah itu dikukus. Untuk pemilihan daging bisa disubtitusikan dengan daging ayam atau daging ikan.

Cara penyajiannya diiris-iris menjadi beberapa bagian dengan ketebalan rata-rata 2 sampai 3 sentimeter dan diletakkan diatas piring beserta sayuran penyerta semacam Wortel, Selada, Buncis, Kentang kemudian disiram saus yang terbuat dari kaldu sapi atau kaldu ayam atau kaldu ikan (sesuai selera) serupa kuah semur tapi sedikit lebih kental. Sekilas tampilan Galantin ini mirip Selat Solo. Menurut info, Galantin juga bisa digoreng sebagai alternatif penyajian yang berbeda dan lebih praktis.

Rasanya?

Kalau kata Pak Bondan “Wisata Kuliner Trans TV” Winarno : Maknyus!

Secara keseluruhan acara pernikahan teman saya berjalan dengan baik. Setiap atribut dan para penanggung jawab terkoordinasi sangat rapi sehingga menghasilkan karya resepsi yang apik. Setelah puas menikmati beberapa sajian pesta dan menyerahkan amanah dari kantor untuk kedua mempelai yang sedang berbahagia, tepat pukul 12.30 WIB seusai Sholat Dhuhur, saya bergegas menuju Terminal Rajekwesi Bojonegoro untuk melanjutkan perjalanan menuju Madiun via Ngawi dengan menumpang bis ukuran 3/4.

Walaupun harus menempuh waktu selama kurang lebih 5 jam melalui jalan yang berkelok-kelok diantara hutan jati dalam cuaca kemarau yang sangat panas, Alhamdulillah, berkat perlindungan Allah SWT, saya pun sampai di rumah dengan selamat.

Saya segera menyapa Bunda yang sedang duduk di beranda rumah.

“ Assalamualaikum, Bu…”

“ Waalaikumsalam, loooh, Le..” Jawab Bunda kaget begitu menyadari kedatangan saya.

Saya memang sengaja tidak memberitahukan rencana mudik jilid dua ini.

Ah, Bunda, senyummu begitu meneduhkan. Senyum yang tak pernah berubah. Tetap sama seperti saat pertama kali saya dilahirkan ke dunia. Senyum yang ampuh mengusir setiap kekhawatiran yang datang tanpa alasan. Senyum yang ampuh mengusir gejala flu akibat musim yang tidak menentu.